Oleh: Habibah Is
Aku mengenalnya pertama kali di bangku taman
itu. Saat itu aku duduk santai menjuntaikan kakiku dengan wajah yang ditutupi
oleh sebuah buku kecil yang lembarannya sudah mulai menguning. Secara tidak
sengaja ada seorang pria bertopi merah yang sedang berlari kecil di sepanjang
jalanan taman. Dia terlihat lebih dewasa dariku, memakai kaos oblong, celana
pendek, dan kedua tangannya sambil memegang sebuah handuk kecil dilehernya, dan
tiba-tiba dia menyandung kakiku. Lantas pria bertopi merah itu terjungkal dan
bagian lututnya mengenai badan jalan yang dilapisi aspal. Aku terperanjat saat
mendengar suara gertakan saat ia terjatuh.
“Eh, maaf Aku tidak sengaja. Kau tidak
apa-apa?” Tanyaku sambil mencoba untuk membantunya berdiri dan membawanya ke
sebuah bangku yang terbuat dari kayu dan
beraneka warna yang tadi kududuki.
Pria bertopi itu masih terbungkam. Entah karena
marah kepadaku atau sedang memikirkan sesuatu.
“Hufft,” Dia mencoba menghela napas.
Nampaknya masih mengatur detak jantungnya
karena mungkin dia kaget dengan kejadian tadi. Aku masih merasa bersalah karena
telah membuatnya jatuh sampai terjungkal seperti itu. Dan dia tetap saja tak
mengeluarkan satu katapun kepadaku.
“Sekali lagi aku minta maaf ya karena sudah
mencelakaimu. Aku benar-benar tidak sengaja,” Aku mengulurkan tangan dan
berharap dia membalas uluran tanganku.
Dengan ramahnya pria itu menjawab pertanyaanku
dan secara tidak langsung dia memaafkanku.
“Ya aku tidak apa-apa. Aku cuma kaget saja
kok,”
“Tapi lututmu terluka,”
“Tidak, ini cuma lecet-lecet saja. Sudah jangan
khawatir aku tidak apa-apa kok,”
“Eh sebentar ya!”
Tanpa berpikir panjang aku segera mendekati
sebuah bilik kecil di ujung taman dan kembali
duduk di samping pria bertopi merah itu.
Aku mengulurkan tangan dengan memegang sebotol
minuman ringan untuknya. Dia pun meraihnya perlahan dan meneguk airnya dengan
cepat. Kiranya pria itu sangat lelah, sehingga mengusap keringat dengan handuk
kecilnya.
“Terima kasih,” Ucapnya.
“Ya. Maaf aku tidak bisa berlama-lama, aku ada
urusan dan harus cepat pulang,”
Saat itu matahari mulai condong ke arah barat.
Burung-burung mulai kembali pulang ke sarangnya masing-masing. Aku menyusuri
jalan dengan langkah cepat dan sekitar lima meter dari taman, tiba-tiba ada
yang memanggilku dengan nada tinggi. Dia
mengejarku dengan tergopoh-gopoh.
Aku langsung menoleh ke belakang, ternyata
orang itu tidak asing bagiku.
“Ternyata kamu” Ujarku heran.
Sontak pria bertopi merah itu mengerem
langkahnya kemudian mengulurkan tangan tepat didepanku.
“Aku
lupa berkenalan denganmu. Perkenalkan namaku Brafo. Siapa namamu?”
“Namaku Aira,” Tidak lama aku segera
meninggalkannya, “Maaf aku harus cepat pulang,”
Sementara Brafo masih terpaku mendiam menatap
langkah kakiku yang semakin lama semakin menjauh.
“Hati-hati di jalan,” Tanganya mendarat ke
mulut membentuk corong dan dengan nada tingginya dia melambaikkan tangan ke
arahku.
***
(Krriiiiik….. krriiiiiik….. krriiiiik……)
Suara binatang kecil yang biasa muncul di malam
hari dan seringkali datang saat musim hujan itu menemani malam sepiku kali ini. Dengan segelas susu
hangat sekedar menghilangkan udara yang sangat menusuk kulit dan setoples
biskuit favoritku. Aku menikmaati semua itu di sebuah kamar yang aku lukiskan
dengan cat warna-warni sesukaku. Ranjangku yg terbuat dari kayu jati berada di
paling pojok kanan kamarku, di sebelahnya ada sebuah meja kecil tempat lampu
tidurku duduk dan juga sebuah jam beker berbentuk buah apel berwarna merah
hadiah dari sahabatku. Di sebelah meja itu berdiri sebuah lemari yang sangat
kokoh menopang berpuluh-puluh bajuku dan beberapa boneka yang aku pajang di
sebuah rak yang menempel tepat di atas ranjangku. Di situlah aku biasa
mencurahkan isi hatiku lewat goresan tinta hitam yang kutuliskan di sebuah
catatan kecil sembari berbaring di atas ranjang ataupun duduk dengan gayaku
sendiri.
Langkah kecil seorang wanita bertubuh subur itu
mendekati kamarku dan membuka pintu perlahan-lahan. Dengan tangan lembutnya
beliau membetulkan posisi tidurku yang kala itu terlelap dengan kepala
bersandar pada sebuah catatan kecil dan jemari yang masih memegang alat tulis,
kemudian menyelimutiku dengan hangat dan tidak lupa beliau mengecup keningku
sebelum meninggalkan kamarku.
***
(Satu minggu kemudian)
Burung-burung kecil bersautan kesana-kemari.
Ayam mulai berkokok. Embun pun menetes dengan sejuk. Sang surya mulai
menampakkan sinarnya.
Kali ini aku mulai bosan dengan rutinitas
kemarin. Akhirnya aku memutuskan meraih ranselku yang tergantung di belakang
pintu kamar, kemudian memasukkan alat tulis, buku bacaan dan tidak lupa sebuah
catatan kecil yang selalu kubawa kemanapun, kemudian meluncur ke tempat
favoritku. Taman.
Aku biasa berjalan kaki menuju taman karena
jarak dari rumahku menuju taman tidak terlalu jauh. Juga bisa mengurangi polusi
udara. Jujur, aku sama sekali tidak menyukai yang namanya ‘PO-LU-SI’.
Di bangku taman itu. Seperti biasa, aku
bersantai dan menjuntaikan kakiku dengan muka yang ditutupi oleh sebuah buku
kecil yang lembarannya sudah mulai menguning. Semilir angin membawaku ke dalam
alur cerita yang kubaca.
Tak jarang orang-orang berseliweran
menghabiskan waktunya menikmati asrinya taman ini. Ada yang mengajak
keluarganya, temannya, bahkan seorang diri hanya untuk melepas penat dari hiruk
pikuknya kota ini. Kota yang setiap harinya disibukkan dengan mobilitas
masyarakatnya. Seperti yang kulakukan sekarang.
Secara kebetulan saat aku mengais buku bacaanku
yang terjatuh dari bangku yang kududuki, ternyata ada tangan seseorang yang
lebih dulu mengaisnya. Lantas aku menatapnya dari bawah, pria itu memakai
pantofel, semakin ke atas dia mengenakan setelan kemeja berwarna gelap dan
berambut ikal namun tetap terlihat rapi karena dibasahi dengan gel dan tangan
kirinya membawa sebuah koper. Saat aku kembali menatap wajahnya, ternyata dia
adalah pria bertopi merah itu yang aku kenal seminggu yang lalu. Aku mencoba
mengingat-ingat namanya.
“Brafo,” Cetusku dalam hati.
Benar bagiku tak asing, namun ada sedikit yang
berbeda. Wajahnya terlihat lebih bersinar dan berpakaian sangat rapi.
“Terima kasih,” Aku tersenyum simpul.
Brafo membalas ucapan terima kasihku dengan
pipi yang mengembang dan disambut senyum manisnya.
“Kamu sendirian di sini?” Tanyanya sembari
mengajakku duduk di bangku taman itu.
“Ya aku sendirian.. ka.. mas.. hmm.. aku
manggilnya apa nih?”
“Terserah kamu saja,”
“Yasudah, aku panggil kak Brafo yaa,” Pintaku.
Brafo mengangguk dan kembali tersenyum manis.
Tak habis pikir dia mengajakku makan siang di rumah makan sederhana sebelah
barat taman itu. Aku pun tak bisa menolak ajakannya.
***
Panas terik matahari semakin lama semakin
menyentuh kulit, mengiringi kita sepanjang jalan. Di sepanjang perjalanan kita
sempat berbincang-bincang.
“Hhmm, ngomong-ngomong kakak dari mana? Kok
tumben pakai baju setelan kemeja,” Dengan nada suaraku yang ragu-ragu.
“Kakak
habis muter-muter cari kerjaan gitu. Nah, kamu kenapa tadi duduk sendirian di
taman?”
“Ya biasa lah kak… lagi cari angin,”
“Ohh,”
Saat hendak memasuki rumah makan sederhana kita
sudah disambut ramah oleh pelayan-pelayannya. Kepalaku menengok ke kiri dan ke
kanan melihat sekeliling rumah makan tersebut, terlihat satu meja yang masih
kosong dan akhirnya kita duduk di meja itu. Meja nomor favoritku, yakni nomor
9.
Di sela-sela keramaian, Brafo memulai
pembicaraannya dneganku. Sedari tadi raut wajahnya terlihat ingin mengungkapkan
sesuatu yang sangat penting. Tak habis pikir, ternyata Brafo telah menyimpan
perasaan yang membuatku melayang entah kemana. Aku terperanjat saat Brafo
menatap mataku tak berpaling sedikitpun kemudian meremas tanganku dan mencoba
mengungkapkan perasaannya. Wajahku memucat, jantungku seperti mau copot. Aku
tak percaya dia mengatakan hal itu. Kiranya ada rasa yang melebur beda di
antara kita. Padahal kita baru saja kenal seminggu yang lalu. Namun rasa nyaman
itu muncul seiring berjalannya waktu. Wajahnya terlihat sangat serius dengan
apa yang dilakukannya sehingga aku tak bisa mengatakan satu patah kata pun
padanya. Apa daya, karena aku merasakan hal yang sama. Aku hanya bisa
mengangguk, dengan sudut bibir tertarik kebelakang.
***
Kala itu Aku bersandar di kusen jendela.
Menatap langit bertabur bintang.
Tiba-tiba secara kasat mata aku melihat benda langit yang berkelap-kelip
meluncur dengan cepat. Tak terduga terlintas dipikiranku tentang Brafo. Pria
yang baru saja aku kenal yang menjadi pendampingku. Aku pun berharap semoga
Brafo adalah yang terbaik untukku, yang
menerimaku apa adanya. Dan aku berharap semoga Brafo sedang menatap langit yang
sama indahnya dengan perasaan kita.
Hatiku sungguh berbunga-bunga setelah Brafo
mengungkapkan perasaannya padaku. Sekarang hatiku sudah terisi oleh seorang
yang pertama kali aku kenal sebagai pria bertopi merah itu. Setelah sekian lama
kosong, kini kesendirianku berakhir sudah.
***
Hari ini aku sangat senang. Berharap bisa
bertemu dengan Brafo alias “pria bertopi merah”. Aku mulai menjelajahi taman
yang di tengahnya terdapat air mancur yang selalu menjadi pelepas dahaga bagi
siapa saja yang melihatnya. Langkah kecil mengiringiku sepanjang jalan sambil
menikmati alunan musik yang terdengar halus tepat di telingaku. Kiranya itu
salah satu peluru terjitu yang membunuh rasa bosanku.
Secara tidak sengaja aku melihat Brafo sedang
duduk berdua dengan seorang wanita yang tubuhnya tidak lebih tinggi darinya,
berambut panjang, dan kulit putih merona. Hatiku terguncang melihat mereka
bersenda gurau. Selebihnya saat mereka terlihat saling mengenal dan sangat
dekat seperti tanpa jarak. Tubuhku kaku setelah melihatnya dengan wanita itu.
***
Seperti kemarin, di bangku taman itu aku
sedikit menenangkan perasaanku yang sempat bergejolak tidak karuan. Menghela
napas sebentar, perasaanku berangsur-angsur tenang.
Aku melanjutkan membaca buku yang lembarannya mulai
kekuningan itu dan perlahan melupakan
hal-hal yang membuat hatiku terguncang. Tiba-tiba punggungku ditepuk dari
belakang dan ternyata dia adalah Brafo.
“Ada apa kamu kesini!” Ketusku.
“Kamu
kenapa kok tiba-tiba marah gitu sih?”
Dengan tatapan sinis, mulutku membungkam dan
berpaling darinya.
“Bukannya kamu tadi berdua dengan wanita lain?”
Tanyaku dalam hati.
Aku beranjak dari bangku itu. Berlari entah
kemana. Hembusan angin membawaku berlari semakin kencang. Pandanganku mulai
pudar sejalan dengan buliran air mata yang tertahan di mataku. Rasaku sangat
kesal bercampur cemas akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan yang membuatku
meninggalkannya di bangku taman itu.
***
“Braaakkk!” Aku membanting pintu kamarku
kemudian berbaring di ranjang dengan wajah yang tertutup bantal.
“Apakah
benar yang tadi aku lihat itu Brafo?”
“Apakah
aku salah melihatnya?”
“Apakah aku ini hanya cemburu?”
Semua petanyaan itu sejenak muncul menguasai
pikiranku. Aku mencoba melupakannya. Air mataku kembali berlinang.
***
(Kriiiingg………. Kriiiingg…….. kriiiingg………)
Jam beker berbunyi tepat pukul 06.00 WIB. Aku
perlahan-lahan membuka mataku yang sembab karena semalam. Aku meraih ponsel
yang berada di samping ranjangku. Ternyata ada 10 panggilan tak terjawab dari
Brafo. Namun tak ada satupun pesan yang singgah.
Aku beranjak dari ranjangku kemudian mandi dan
bersiap-siap melakukan rutinitas. Selangkah keluar dari pintu rumah, tak
sengaja aku menunduk ke lantai dan ternyata ada sepucuk surat yang tergeletak
di atasnya. Sampulnya bertuliskan namaku.
Berlengganglah aku menuju kursi santai yang
terletak di samping pintu, kubuka surat itu perlahan dan kemudian membacanya.
Ternyata surat itu berisikan sebuah permintaan maaf Brafo kepadaku atas
kejadian kemarin yang membuat hatiku terpukul.
Dia menjelaskan bahwa wanita itu hanyalah adik
kandungnya yang baru datang dari luar kota yang kemudian dia ajak ke taman itu.
Lalu dia mengajakku bertemu di tempat biasa pagi ini. Aku merasa bersalah
setelah membacanya. Mungkin karena aku terlalu terburu-buru mengambil
kesimpulan.
***
Terdengar suara riuh tak henti-hentinya
sepanjang jalan. Aku melangkah pasti ke taman itu. Di iringi bunga-bunga yang
baru mekar. Di temani kicauan burung merpati yang biasa bergerombol di sekitar
taman.
Melihat dari kejauhan, Brafo telah menunggu di
bangku taman itu. Aku mendekatinya dan berdiri tepat di depannya. Brafo
mengajakku duduk di bangku taman itu. Mulanya aku hanya diam tanpa kata, kemudian Brafo menatap mataku, mengatakan
permintaan maaf dan menjelaskan tentang apa yang terjadi kemarin. Kedewasaannya
mulai muncul kala dia menyelesaikan masalah. Aku memotong pembicaraannya
sedikit, berbalik meminta maaf karna akulah yang telah berprasangka buruk
terhadapnya. Aku hanya bisa menunduk dan tersipu malu. Brafo membalas dengan
anggukan dan senyumannya kemudian mengelus-elus rambutku. Itu tandanya dia
sudah memaafkanku. Aku pun merasa lega.
Kala itu tangan kanannya melingkari pinggangku.
Perlahan kepalaku bersandar di pundaknya menikmati udara sejuk. Daun-daun yang
berjatuhan tertiup angin terombang-ambing ke sana ke mari, serta gelak tawa
anak kecil yang menggemaskan.
“Aku yakin dialah yang terbaik untukku dan
selebihnya untuk masa depanku,” Lamunku di bangku taman itu.
~ SELESAI ~