Laman

Minggu, 27 Maret 2016

(Tak) Rindu lagi

Oleh: Habibah Is

Semu rindumu yang menggelitik
Melengking landai membisik
Sentuh sayangmu yang meramu
Maknai arti rinduku untukmu

Seribu tanya pun berbisik hampa
Kapan pertama kali kita berjumpa?
Dan, kapan terakhir kali kau rindukan aku?
Entahlah, mungkin aku lupa dan juga kau

Benar, ternyata kau sungguh tak rindu lagi
Sejak saat itu dan sejak itu pula aku tak rindu lagi
Bahkan sudah kubuang rasa itu jauh sejauh-jauhnya
Hingga aku tak lagi sedikitpun menyentuhnya

Cirebon, 17 Oktober 2015

Sabtu, 26 Maret 2016

BANGKU TAMAN SEJUTA KENANGAN

Oleh: Habibah Is

Aku mengenalnya pertama kali di bangku taman itu. Saat itu aku duduk santai menjuntaikan kakiku dengan wajah yang ditutupi oleh sebuah buku kecil yang lembarannya sudah mulai menguning. Secara tidak sengaja ada seorang pria bertopi merah yang sedang berlari kecil di sepanjang jalanan taman. Dia terlihat lebih dewasa dariku, memakai kaos oblong, celana pendek, dan kedua tangannya sambil memegang sebuah handuk kecil dilehernya, dan tiba-tiba dia menyandung kakiku. Lantas pria bertopi merah itu terjungkal dan bagian lututnya mengenai badan jalan yang dilapisi aspal. Aku terperanjat saat mendengar suara gertakan saat ia terjatuh.

“Eh, maaf Aku tidak sengaja. Kau tidak apa-apa?” Tanyaku sambil mencoba untuk membantunya berdiri dan membawanya ke sebuah bangku yang terbuat dari kayu  dan beraneka warna yang tadi kududuki.

Pria bertopi itu masih terbungkam. Entah karena marah kepadaku atau sedang memikirkan sesuatu.

“Hufft,” Dia mencoba menghela napas.

Nampaknya masih mengatur detak jantungnya karena mungkin dia kaget dengan kejadian tadi. Aku masih merasa bersalah karena telah membuatnya jatuh sampai terjungkal seperti itu. Dan dia tetap saja tak mengeluarkan satu katapun kepadaku.

“Sekali lagi aku minta maaf ya karena sudah mencelakaimu. Aku benar-benar tidak sengaja,” Aku mengulurkan tangan dan berharap dia membalas uluran tanganku.

Dengan ramahnya pria itu menjawab pertanyaanku dan secara tidak langsung dia memaafkanku.

“Ya aku tidak apa-apa. Aku cuma kaget saja kok,”

“Tapi lututmu terluka,”

“Tidak, ini cuma lecet-lecet saja. Sudah jangan khawatir aku tidak apa-apa kok,”

“Eh sebentar ya!”

Tanpa berpikir panjang aku segera mendekati sebuah bilik kecil di ujung taman dan kembali  duduk di samping pria bertopi merah itu.

Aku mengulurkan tangan dengan memegang sebotol minuman ringan untuknya. Dia pun meraihnya perlahan dan meneguk airnya dengan cepat. Kiranya pria itu sangat lelah, sehingga mengusap keringat dengan handuk kecilnya.

“Terima kasih,” Ucapnya.

“Ya. Maaf aku tidak bisa berlama-lama, aku ada urusan dan harus cepat pulang,”

Saat itu matahari mulai condong ke arah barat. Burung-burung mulai kembali pulang ke sarangnya masing-masing. Aku menyusuri jalan dengan langkah cepat dan sekitar lima meter dari taman, tiba-tiba ada yang memanggilku dengan nada tinggi. Dia  mengejarku dengan tergopoh-gopoh.
Aku langsung menoleh ke belakang, ternyata orang itu tidak asing bagiku.

“Ternyata kamu” Ujarku heran.

Sontak pria bertopi merah itu mengerem langkahnya kemudian mengulurkan tangan tepat didepanku.

 “Aku lupa berkenalan denganmu. Perkenalkan namaku Brafo. Siapa namamu?”

“Namaku Aira,” Tidak lama aku segera meninggalkannya, “Maaf aku harus cepat pulang,”

Sementara Brafo masih terpaku mendiam menatap langkah kakiku yang semakin lama semakin menjauh.

“Hati-hati di jalan,” Tanganya mendarat ke mulut membentuk corong dan dengan nada tingginya dia melambaikkan tangan ke arahku.

***

(Krriiiiik….. krriiiiiik….. krriiiiik……)

Suara binatang kecil yang biasa muncul di malam hari dan seringkali datang saat musim hujan itu menemani  malam sepiku kali ini. Dengan segelas susu hangat sekedar menghilangkan udara yang sangat menusuk kulit dan setoples biskuit favoritku. Aku menikmaati semua itu di sebuah kamar yang aku lukiskan dengan cat warna-warni sesukaku. Ranjangku yg terbuat dari kayu jati berada di paling pojok kanan kamarku, di sebelahnya ada sebuah meja kecil tempat lampu tidurku duduk dan juga sebuah jam beker berbentuk buah apel berwarna merah hadiah dari sahabatku. Di sebelah meja itu berdiri sebuah lemari yang sangat kokoh menopang berpuluh-puluh bajuku dan beberapa boneka yang aku pajang di sebuah rak yang menempel tepat di atas ranjangku. Di situlah aku biasa mencurahkan isi hatiku lewat goresan tinta hitam yang kutuliskan di sebuah catatan kecil sembari berbaring di atas ranjang ataupun duduk dengan gayaku sendiri.

Langkah kecil seorang wanita bertubuh subur itu mendekati kamarku dan membuka pintu perlahan-lahan. Dengan tangan lembutnya beliau membetulkan posisi tidurku yang kala itu terlelap dengan kepala bersandar pada sebuah catatan kecil dan jemari yang masih memegang alat tulis, kemudian menyelimutiku dengan hangat dan tidak lupa beliau mengecup keningku sebelum meninggalkan kamarku.

***

(Satu minggu kemudian)

Burung-burung kecil bersautan kesana-kemari. Ayam mulai berkokok. Embun pun menetes dengan sejuk. Sang surya mulai menampakkan sinarnya.

Kali ini aku mulai bosan dengan rutinitas kemarin. Akhirnya aku memutuskan meraih ranselku yang tergantung di belakang pintu kamar, kemudian memasukkan alat tulis, buku bacaan dan tidak lupa sebuah catatan kecil yang selalu kubawa kemanapun, kemudian meluncur ke tempat favoritku. Taman.

Aku biasa berjalan kaki menuju taman karena jarak dari rumahku menuju taman tidak terlalu jauh. Juga bisa mengurangi polusi udara. Jujur, aku sama sekali tidak menyukai yang namanya ‘PO-LU-SI’.

Di bangku taman itu. Seperti biasa, aku bersantai dan menjuntaikan kakiku dengan muka yang ditutupi oleh sebuah buku kecil yang lembarannya sudah mulai menguning. Semilir angin membawaku ke dalam alur cerita yang kubaca.

Tak jarang orang-orang berseliweran menghabiskan waktunya menikmati asrinya taman ini. Ada yang mengajak keluarganya, temannya, bahkan seorang diri hanya untuk melepas penat dari hiruk pikuknya kota ini. Kota yang setiap harinya disibukkan dengan mobilitas masyarakatnya. Seperti yang kulakukan sekarang.

Secara kebetulan saat aku mengais buku bacaanku yang terjatuh dari bangku yang kududuki, ternyata ada tangan seseorang yang lebih dulu mengaisnya. Lantas aku menatapnya dari bawah, pria itu memakai pantofel, semakin ke atas dia mengenakan setelan kemeja berwarna gelap dan berambut ikal namun tetap terlihat rapi karena dibasahi dengan gel dan tangan kirinya membawa sebuah koper. Saat aku kembali menatap wajahnya, ternyata dia adalah pria bertopi merah itu yang aku kenal seminggu yang lalu. Aku mencoba mengingat-ingat namanya.

“Brafo,” Cetusku dalam hati.

Benar bagiku tak asing, namun ada sedikit yang berbeda. Wajahnya terlihat lebih bersinar dan berpakaian sangat rapi.

“Terima kasih,” Aku tersenyum simpul.

Brafo membalas ucapan terima kasihku dengan pipi yang mengembang dan disambut senyum manisnya.

“Kamu sendirian di sini?” Tanyanya sembari mengajakku duduk di bangku taman itu.

“Ya aku sendirian.. ka.. mas.. hmm.. aku manggilnya apa nih?”

“Terserah kamu saja,”

“Yasudah, aku panggil kak Brafo yaa,” Pintaku.

Brafo mengangguk dan kembali tersenyum manis. Tak habis pikir dia mengajakku makan siang di rumah makan sederhana sebelah barat taman itu. Aku pun tak bisa menolak ajakannya.

***

Panas terik matahari semakin lama semakin menyentuh kulit, mengiringi kita sepanjang jalan. Di sepanjang perjalanan kita sempat berbincang-bincang.

“Hhmm, ngomong-ngomong kakak dari mana? Kok tumben pakai baju setelan kemeja,” Dengan nada suaraku yang ragu-ragu.

 “Kakak habis muter-muter cari kerjaan gitu. Nah, kamu kenapa tadi duduk sendirian di taman?”

“Ya biasa lah kak… lagi cari angin,”

“Ohh,”

Saat hendak memasuki rumah makan sederhana kita sudah disambut ramah oleh pelayan-pelayannya. Kepalaku menengok ke kiri dan ke kanan melihat sekeliling rumah makan tersebut, terlihat satu meja yang masih kosong dan akhirnya kita duduk di meja itu. Meja nomor favoritku, yakni nomor 9.

Di sela-sela keramaian, Brafo memulai pembicaraannya dneganku. Sedari tadi raut wajahnya terlihat ingin mengungkapkan sesuatu yang sangat penting. Tak habis pikir, ternyata Brafo telah menyimpan perasaan yang membuatku melayang entah kemana. Aku terperanjat saat Brafo menatap mataku tak berpaling sedikitpun kemudian meremas tanganku dan mencoba mengungkapkan perasaannya. Wajahku memucat, jantungku seperti mau copot. Aku tak percaya dia mengatakan hal itu. Kiranya ada rasa yang melebur beda di antara kita. Padahal kita baru saja kenal seminggu yang lalu. Namun rasa nyaman itu muncul seiring berjalannya waktu. Wajahnya terlihat sangat serius dengan apa yang dilakukannya sehingga aku tak bisa mengatakan satu patah kata pun padanya. Apa daya, karena aku merasakan hal yang sama. Aku hanya bisa mengangguk, dengan sudut bibir tertarik kebelakang.

***

Kala itu Aku bersandar di kusen jendela. Menatap langit  bertabur bintang. Tiba-tiba secara kasat mata aku melihat benda langit yang berkelap-kelip meluncur dengan cepat. Tak terduga terlintas dipikiranku tentang Brafo. Pria yang baru saja aku kenal yang menjadi pendampingku. Aku pun berharap semoga Brafo adalah  yang terbaik untukku, yang menerimaku apa adanya. Dan aku berharap semoga Brafo sedang menatap langit yang sama indahnya dengan perasaan kita.

Hatiku sungguh berbunga-bunga setelah Brafo mengungkapkan perasaannya padaku. Sekarang hatiku sudah terisi oleh seorang yang pertama kali aku kenal sebagai pria bertopi merah itu. Setelah sekian lama kosong, kini kesendirianku berakhir sudah.

***

Hari ini aku sangat senang. Berharap bisa bertemu dengan Brafo alias “pria bertopi merah”. Aku mulai menjelajahi taman yang di tengahnya terdapat air mancur yang selalu menjadi pelepas dahaga bagi siapa saja yang melihatnya. Langkah kecil mengiringiku sepanjang jalan sambil menikmati alunan musik yang terdengar halus tepat di telingaku. Kiranya itu salah satu peluru terjitu yang membunuh rasa bosanku.

Secara tidak sengaja aku melihat Brafo sedang duduk berdua dengan seorang wanita yang tubuhnya tidak lebih tinggi darinya, berambut panjang, dan kulit putih merona. Hatiku terguncang melihat mereka bersenda gurau. Selebihnya saat mereka terlihat saling mengenal dan sangat dekat seperti tanpa jarak. Tubuhku kaku setelah melihatnya dengan wanita itu.

***

Seperti kemarin, di bangku taman itu aku sedikit menenangkan perasaanku yang sempat bergejolak tidak karuan. Menghela napas sebentar, perasaanku berangsur-angsur tenang.

Aku melanjutkan membaca buku yang lembarannya mulai kekuningan itu dan  perlahan melupakan hal-hal yang membuat hatiku terguncang. Tiba-tiba punggungku ditepuk dari belakang dan ternyata dia adalah Brafo.

“Ada apa kamu kesini!” Ketusku.

 “Kamu kenapa kok tiba-tiba marah gitu sih?” 

Dengan tatapan sinis, mulutku membungkam dan berpaling darinya.

“Bukannya kamu tadi berdua dengan wanita lain?” Tanyaku dalam hati.

Aku beranjak dari bangku itu. Berlari entah kemana. Hembusan angin membawaku berlari semakin kencang. Pandanganku mulai pudar sejalan dengan buliran air mata yang tertahan di mataku. Rasaku sangat kesal bercampur cemas akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan yang membuatku meninggalkannya di bangku taman itu.

***

“Braaakkk!” Aku membanting pintu kamarku kemudian berbaring di ranjang dengan wajah yang tertutup bantal.

 “Apakah benar yang tadi aku lihat itu Brafo?”

 “Apakah aku salah melihatnya?”

“Apakah aku ini hanya cemburu?”

Semua petanyaan itu sejenak muncul menguasai pikiranku. Aku mencoba melupakannya. Air mataku kembali berlinang.

***

(Kriiiingg………. Kriiiingg…….. kriiiingg………)

Jam beker berbunyi tepat pukul 06.00 WIB. Aku perlahan-lahan membuka mataku yang sembab karena semalam. Aku meraih ponsel yang berada di samping ranjangku. Ternyata ada 10 panggilan tak terjawab dari Brafo. Namun tak ada satupun pesan yang singgah.

Aku beranjak dari ranjangku kemudian mandi dan bersiap-siap melakukan rutinitas. Selangkah keluar dari pintu rumah, tak sengaja aku menunduk ke lantai dan ternyata ada sepucuk surat yang tergeletak di atasnya. Sampulnya bertuliskan namaku. 

Berlengganglah aku menuju kursi santai yang terletak di samping pintu, kubuka surat itu perlahan dan kemudian membacanya. Ternyata surat itu berisikan sebuah permintaan maaf Brafo kepadaku atas kejadian kemarin yang membuat hatiku terpukul. 

Dia menjelaskan bahwa wanita itu hanyalah adik kandungnya yang baru datang dari luar kota yang kemudian dia ajak ke taman itu. Lalu dia mengajakku bertemu di tempat biasa pagi ini. Aku merasa bersalah setelah membacanya. Mungkin karena aku terlalu terburu-buru mengambil kesimpulan.

***

Terdengar suara riuh tak henti-hentinya sepanjang jalan. Aku melangkah pasti ke taman itu. Di iringi bunga-bunga yang baru mekar. Di temani kicauan burung merpati yang biasa bergerombol di sekitar taman.

Melihat dari kejauhan, Brafo telah menunggu di bangku taman itu. Aku mendekatinya dan berdiri tepat di depannya. Brafo mengajakku duduk di bangku taman itu. Mulanya aku hanya diam tanpa kata,  kemudian Brafo menatap mataku, mengatakan permintaan maaf dan menjelaskan tentang apa yang terjadi kemarin. Kedewasaannya mulai muncul kala dia menyelesaikan masalah. Aku memotong pembicaraannya sedikit, berbalik meminta maaf karna akulah yang telah berprasangka buruk terhadapnya. Aku hanya bisa menunduk dan tersipu malu. Brafo membalas dengan anggukan dan senyumannya kemudian mengelus-elus rambutku. Itu tandanya dia sudah memaafkanku. Aku pun merasa lega.

Kala itu tangan kanannya melingkari pinggangku. Perlahan kepalaku bersandar di pundaknya menikmati udara sejuk. Daun-daun yang berjatuhan tertiup angin terombang-ambing ke sana ke mari, serta gelak tawa anak kecil yang menggemaskan.

“Aku yakin dialah yang terbaik untukku dan selebihnya untuk masa depanku,” Lamunku di bangku taman itu.

~ SELESAI ~