Oleh: Habibah Is
Sebuah
rumah sederhana dengan sentuhan cat merah
muda yang di depannya terdapat sekelumit taman yang membuat rumah itu
terasa lebih sejuk. Rumah itu bagai istana kecil, di huni sepasang insan yang hidup bahagia setelah dikarunia seorang
malaikat kecil yang sangat menggemaskan. Malaikat kecil itu bernama Mala.
Mala
adalah seorang gadis yang sangat dimanjakan oleh kedua orang tuanya. Dia
bertubuh mungil dengan rambut yang terurai panjang di bahunya. Tak jarang jika
kedua orang tuanya seringkali memberikan hadiah kesukaannya karena sifatnya
yang sangat penurut kepada mereka.
***
Pagi
yang cerah, namun tidak secerah wajah Mala. Tidak seperti biasanya Mala
terlihat murung dengan menelungkupkan wajahnya pada meja makan. Di atas meja
itu tertata setumpuk roti gandum yang sudah disiapkan oleh ibunda tercintanya dengan
berbagai macam selai beraneka rasa, seperti coklat, anggur, nanas, kacang serta
selai stroberi yang menjadi favoritnya. Tapi, saat ini Mala sedang tak berselera,
karena sejak beranjak dari tempat tidurnya Mala tidak melihat sedikitpun wajah
tegar Ayahnya. Ibundanya berkata bahwa ayahnya sudah berangkat ke kantor karena
mendapat panggilan mendadak untuk menggarap proyek di kantornya sehingga beliau
terburu-buru. Meski terburu-buru beliau menyempatkan untuk mencium kening Mala
saat masih tertidur.
Dengan
wajah yang penuh keikhlasan dan kesabaran, Ibundanya mencoba menyuapi putri
semata wayangnya. Mala menggelengkan kepalanya dan tetap membungkam.
Seperti
gadis kecil lainnya, emosinya pun masih sangat labil. Terlebih saat ketiga
teman sebayanya mengajaknya bermain. Mala terhilat kegirangan lalu beranjak
dari kursi yang dia duduki dan berlari ke mulut pintu. Ibundanya pun
menggelengkan kepala saat menatap langkahnya. Beliau hanya bisa tersenyum dan
menghela napas perlahan karena beliau sangat paham dengan pola tingkah putrinya
itu.
Kemurungannya
pun hilang perlahan seirind di sambut ketiga teman sebayanya, Karin, Cella, dan
Dodo yang sudah berjejer tepat di depan matanya.
“Selamat pagi Mala,” Serentak mereka menyapa
sambil melempar senyum lebarnya.
Mala
menjawabnya dengan riang gembira dan kembali melempar senyum manisnya, “Pagi
semuanya,”
Dengan
langkah kecilnya, Mala mengambil sepeda miliknya yang ia bawa dari garasi mobil
Ayahnya. Kemudian mereka mengayuh sepedanya masing-masing menuju sebuah tempat
yang menyuguhkan pemandangan yang sangat menyejukkan mata. Di sana terdapat
beberapa ayunan, seluncuran, rumah-rumahan dan lain sebagainya. Di sekelilingnya
di tanami pagar hijau dan di tumbuhi bunga-bunga yang sangat menawan. Disanalah
tempat mereka menghabiskan waktu bermainnya setiap hari dan kembali pulang saat
mereka puas bermain sepanjang hari.
***
(5
tahun kemudian)
Mala
tumbuh menjadi gadis remaja yang setidaknya lebih mengerti akan keadaannya saat
ini. Sekarang, rumah itu menderap sunyi sepi semenjak tak mendengar lagi pinta
seorang wanita hebat kepada malaikat kecilnya. Mala hanya tinggal bersama
seorang laki-laki paruhbaya dan bertubuh subur yang sangat tegar dan sangat
menyayanginya.
Rumah
itu kembali riuh kala canda tawa mereka di sela-sela kesibukannya
masing-masing. Sejalan dengan rembulan yang bersinar terang serta ribuan
bintang yang bertaburan di sekelilingnya.
Di
sisi jendela kamarnya, Mala merenung menatap langit. Kilauan kunang-kunang
menyapanya di kaca jendela. Bagi dirinya semua itu sepi tiada arti. Entah apa
yang dirasakannya saat ini. Rindu telah merenggut jiwanya.
“Semakin
rindu akan kehadiranmu. Dirimu yang dulu membelai tubuh mungilku selembut
sutra. Membelai rambut panjangku. Serta memelukku sehangat mentari. Dan hal-hal
lain yang seringkali kau lakukan setiap hari demi memanjakanku. Kini kau tenang
disana, di tempat terakhirmu. Aku harap kau bahagia disana. Aku selalu berdo’a
yang terbaik untukmu,” Ucapnya dengan lirih.
Di
tepi derasnya aliran air yang sangat jernih. Di sekelilingnya di tumbuhi
rimbunnya pepohonan, bunga-bunga yang baru mekar dan keindahan-keindahan
lainnya yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Tempat itu terlihat
seperti belum terjamah oleh tangan-tangan jahil manusia.
Kala itu Mala bertemu
sosok bidadari berparas cantik jelita yang memancarkan sinarnya sehingga
menyilaukan pandangan Mala. Dia yakin bahwa bidadari itu adalah Ibundanya yang
selama ini dirindukannya. Bidadari itupun tersenyum pada wajah mungil Mala dan
melebarkan tangannya. Mala mencoba mendekatinya kemudian meraih tangannya namun
tak merasakan apa-apa. Mala mencobanya sekali lagi meraih tangannya kemudian
mencoba mendekap tubuhnya erat-erat,
namun apa daya bidadari itu semakin memudar dipandangan matanya dan kemudian
menghilang. Sontak ia memanggilnya dengan nada tinggi, bersamaan dengan derasnya
hujan di sudut gelap matanya hingga mengalir membasahi pipinya.
“Bundaaaaa,”
“Bunda
kemana?”
“Jangan
tinggalkan aku, Bunda!”
“Bunda
jangan pergi!”
“Aku
merindukan Bunda,”
“Bundaaaaa,”
Seorang
laki-laki paruhbaya itu langsung menuju ke arah terdengarnya suara jeritan.
Lantas ia segera menenangkan putrinya
ketika terperanjat dan terbangun dari tidurnya. Mala mendekap tubuh Ayahnya
erat-erat. Keringat dinginnya keluar. Napasnya tersenggal-sengal. Mala pun
menangis sesenggukan di pelukan Ayahnya.
“Hiks…
hiks… hiks…,”
“Tenang
nak, di sini masih ada Ayah yang selalu menemanimu. Ayah yakin Bunda sudah
tenang disana. Percayalah,” Bisiknya sambil mengelus rambut putrinya.
Kini
disamping Mala sudah ada lelaki hebat yang menemaninya. Secara tak sadar Mala telah
tertidur pulas di pangkuan Ayahnya.
***
Hangatnya
mentari menyinari sudut-sudut rumah. Mala mendengus-dengus sambil mengucek
matanya. Meskipun pandangannya masih samar-samar, setidaknya ia mengetahui asal
bau itu karena baginya tidak asing lagi. Dan ternyata bau itu berasal dari arah
dapur yang letaknya tidak jauh dari kamarnya. Saat menengok ke arah dapur
terlihat Ayahnya sedang menyiapkan makanan favoritnya.
Semenjak
Ibundanya tiada, ayahnya-lah yang selalu melayani, memanjakan, dan menemani
hari-harinya. Bahkan Ayahnya rela mengajukan pensiun dini di perusahaan yang
membesarkan namanya itu demi putri semata wayangnya. Bagi Mala, seorang Ayah
bisa menggantikan ibu dalam hal apapun, kecuali perjuangannya saat berada
diantara hidup dan mati. Kini Ayahnya selalu berusaha menghiburnya kala ia merindukan
Ibundanya.
Saat
itu pukul empat sore, Mala di ajak oleh Ayahnya untuk mengunjungi peristirahatan
terakhir sang Ibunda. Setibanya di kompleks pemakaman, tepatnya di depan nisan
Ibundanya, Mala memejamkan mata dan memanjatkan do’a yang dipimpin oleh Ayahnya.
Dia terlihat lebih tegar meski di lubuk hatinya tersimpan sesuatu yang tak mampu
terungkapkan. Tangan mungilnya menaburkan bunga yang dibawanya dengan keranjang
kecil.
Senja
menjemput mereka. Ayahnya segera meraih tangan Mala, lalu menggandengnya
meninggalkan makam. Dengan berat hati Mala meninggalkannya. Sesekali Mala tak
henti-hentinya menoleh ke belakang. Terlihat sosok bidadari yang menyapanya dengan
senyuman manis ke arahnya. Mala pun membalasnya dengan melambaikan tangannya.
Seraya mereka melangkah semakin menjauh bidadari itu perlahan menghilang.
~ SELESAI ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar