Laman

Jumat, 25 Maret 2016

RINDUKU HANYA UNTUKMU

(Edisi revisi: RINDU)

Oleh: Habibah Is

Sebuah rumah sederhana dengan sentuhan cat merah  muda yang di depannya terdapat sekelumit taman yang membuat rumah itu terasa lebih sejuk. Rumah itu bagai istana kecil, di huni sepasang insan  yang hidup bahagia setelah dikarunia seorang malaikat kecil yang sangat menggemaskan. Malaikat kecil itu bernama Mala.

Mala adalah seorang gadis yang sangat dimanjakan oleh kedua orang tuanya. Dia bertubuh mungil dengan rambut yang terurai panjang di bahunya. Tak jarang jika kedua orang tuanya seringkali memberikan hadiah kesukaannya karena sifatnya yang sangat penurut kepada mereka.

***

Pagi yang cerah, namun tidak secerah wajah Mala. Tidak seperti biasanya Mala terlihat murung dengan menelungkupkan wajahnya pada meja makan. Di atas meja itu tertata setumpuk roti gandum yang sudah disiapkan oleh ibunda tercintanya dengan berbagai macam selai beraneka rasa, seperti coklat, anggur, nanas, kacang serta selai stroberi yang menjadi favoritnya. Tapi, saat ini Mala sedang tak berselera, karena sejak beranjak dari tempat tidurnya Mala tidak melihat sedikitpun wajah tegar Ayahnya. Ibundanya berkata bahwa ayahnya sudah berangkat ke kantor karena mendapat panggilan mendadak untuk menggarap proyek di kantornya sehingga beliau terburu-buru. Meski terburu-buru beliau menyempatkan untuk mencium kening Mala saat masih tertidur.

Dengan wajah yang penuh keikhlasan dan kesabaran, Ibundanya mencoba menyuapi putri semata wayangnya. Mala menggelengkan kepalanya dan tetap membungkam.

Seperti gadis kecil lainnya, emosinya pun masih sangat labil. Terlebih saat ketiga teman sebayanya mengajaknya bermain. Mala terhilat kegirangan lalu beranjak dari kursi yang dia duduki dan berlari ke mulut pintu. Ibundanya pun menggelengkan kepala saat menatap langkahnya. Beliau hanya bisa tersenyum dan menghela napas perlahan karena beliau sangat paham dengan pola tingkah putrinya itu.

Kemurungannya pun hilang perlahan seirind di sambut ketiga teman sebayanya, Karin, Cella, dan Dodo yang sudah berjejer tepat di depan matanya.

“Selamat pagi Mala,” Serentak mereka menyapa sambil melempar senyum lebarnya.

Mala menjawabnya dengan riang gembira dan kembali melempar senyum manisnya, “Pagi semuanya,”

Dengan langkah kecilnya, Mala mengambil sepeda miliknya yang ia bawa dari garasi mobil Ayahnya. Kemudian mereka mengayuh sepedanya masing-masing menuju sebuah tempat yang menyuguhkan pemandangan yang sangat menyejukkan mata. Di sana terdapat beberapa ayunan, seluncuran, rumah-rumahan dan lain sebagainya. Di sekelilingnya di tanami pagar hijau dan di tumbuhi bunga-bunga yang sangat menawan. Disanalah tempat mereka menghabiskan waktu bermainnya setiap hari dan kembali pulang saat mereka puas bermain sepanjang hari.

***

(5 tahun kemudian)

Mala tumbuh menjadi gadis remaja yang setidaknya lebih mengerti akan keadaannya saat ini. Sekarang, rumah itu menderap sunyi sepi semenjak tak mendengar lagi pinta seorang wanita hebat kepada malaikat kecilnya. Mala hanya tinggal bersama seorang laki-laki paruhbaya dan bertubuh subur yang sangat tegar dan sangat menyayanginya.

Rumah itu kembali riuh kala canda tawa mereka di sela-sela kesibukannya masing-masing. Sejalan dengan rembulan yang bersinar terang serta ribuan bintang yang bertaburan di sekelilingnya.

Di sisi jendela kamarnya, Mala merenung menatap langit. Kilauan kunang-kunang menyapanya di kaca jendela. Bagi dirinya semua itu sepi tiada arti. Entah apa yang dirasakannya saat ini. Rindu telah merenggut jiwanya.

“Semakin rindu akan kehadiranmu. Dirimu yang dulu membelai tubuh mungilku selembut sutra. Membelai rambut panjangku. Serta memelukku sehangat mentari. Dan hal-hal lain yang seringkali kau lakukan setiap hari demi memanjakanku. Kini kau tenang disana, di tempat terakhirmu. Aku harap kau bahagia disana. Aku selalu berdo’a yang terbaik untukmu,” Ucapnya dengan lirih.

Di tepi derasnya aliran air yang sangat jernih. Di sekelilingnya di tumbuhi rimbunnya pepohonan, bunga-bunga yang baru mekar dan keindahan-keindahan lainnya yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Tempat itu terlihat seperti belum terjamah oleh tangan-tangan jahil manusia. 

Kala itu Mala bertemu sosok bidadari berparas cantik jelita yang memancarkan sinarnya sehingga menyilaukan pandangan Mala. Dia yakin bahwa bidadari itu adalah Ibundanya yang selama ini dirindukannya. Bidadari itupun tersenyum pada wajah mungil Mala dan melebarkan tangannya. Mala mencoba mendekatinya kemudian meraih tangannya namun tak merasakan apa-apa. Mala mencobanya sekali lagi meraih tangannya kemudian mencoba  mendekap tubuhnya erat-erat, namun apa daya bidadari itu semakin memudar dipandangan matanya dan kemudian menghilang. Sontak ia memanggilnya dengan nada tinggi, bersamaan dengan derasnya hujan di sudut gelap matanya hingga mengalir membasahi pipinya.

“Bundaaaaa,”

“Bunda kemana?”

“Jangan tinggalkan aku, Bunda!”

“Bunda jangan pergi!”

“Aku merindukan Bunda,”

“Bundaaaaa,”

Seorang laki-laki paruhbaya itu langsung menuju ke arah terdengarnya suara jeritan. Lantas ia segera menenangkan  putrinya ketika terperanjat dan terbangun dari tidurnya. Mala mendekap tubuh Ayahnya erat-erat. Keringat dinginnya keluar. Napasnya tersenggal-sengal. Mala pun menangis sesenggukan di pelukan Ayahnya.

“Hiks… hiks… hiks…,”

“Tenang nak, di sini masih ada Ayah yang selalu menemanimu. Ayah yakin Bunda sudah tenang disana. Percayalah,” Bisiknya sambil mengelus rambut putrinya.

Kini disamping Mala sudah ada lelaki hebat yang menemaninya. Secara tak sadar Mala telah tertidur pulas di pangkuan Ayahnya.

***

Hangatnya mentari menyinari sudut-sudut rumah. Mala mendengus-dengus sambil mengucek matanya. Meskipun pandangannya masih samar-samar, setidaknya ia mengetahui asal bau itu karena baginya tidak asing lagi. Dan ternyata bau itu berasal dari arah dapur yang letaknya tidak jauh dari kamarnya. Saat menengok ke arah dapur terlihat Ayahnya sedang menyiapkan makanan favoritnya.

Semenjak Ibundanya tiada, ayahnya-lah yang selalu melayani, memanjakan, dan menemani hari-harinya. Bahkan Ayahnya rela mengajukan pensiun dini di perusahaan yang membesarkan namanya itu demi putri semata wayangnya. Bagi Mala, seorang Ayah bisa menggantikan ibu dalam hal apapun, kecuali perjuangannya saat berada diantara hidup dan mati. Kini Ayahnya selalu berusaha menghiburnya kala ia merindukan Ibundanya.

Saat itu pukul empat sore, Mala di ajak oleh Ayahnya untuk mengunjungi peristirahatan terakhir sang Ibunda. Setibanya di kompleks pemakaman, tepatnya di depan nisan Ibundanya, Mala memejamkan mata dan memanjatkan do’a yang dipimpin oleh Ayahnya. Dia terlihat lebih tegar meski di lubuk hatinya tersimpan sesuatu yang tak mampu terungkapkan. Tangan mungilnya menaburkan bunga yang dibawanya dengan keranjang kecil.

Senja menjemput mereka. Ayahnya segera meraih tangan Mala, lalu menggandengnya meninggalkan makam. Dengan berat hati Mala meninggalkannya. Sesekali Mala tak henti-hentinya menoleh ke belakang. Terlihat sosok bidadari yang menyapanya dengan senyuman manis ke arahnya. Mala pun membalasnya dengan melambaikan tangannya. Seraya mereka melangkah semakin menjauh bidadari itu perlahan menghilang.

~ SELESAI ~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar